|
Suasana di halaman Masjid Baiturrahman Banda Aceh |
Dua tahun telah berlalu, tapi kenangan itu selalu membekas di benak
kami. Ketika pertama kali kaki ini menyentuh ‘tanah rencong’ sapa hangat warganya
kami rasakan sehangat kopinya. Dari cerita warganya, kami jadi tahu sedikit
tentang Aceh serta kisah yang mengiringinya. Kami jadi tahu tentang pantainya, masakan,
sejarah, warung kopi, hingga rencongnya. Rencong adalah senjata tradisional khas
setempat bentuknya menyerupai huruf L. Rupanya bila dilihat lebih dekat bentuknya
merupakan kaligrafi tulisan Bismillah. Rencong termasuk dalam kategori dagger atau
belati namun bukan pisau ataupun pedang. Selain rencong, bangsa Aceh juga
memiliki beberapa senjata khas seperti Sikin Panyang, Klewang, dan Peudeung oon
Teubee.
Waktu itu kami megunjungi
masjid kebanggan warga Aceh, Masjid Raya Baiturrahman. Masjid yang terletak di
pusat Kota Banda Aceh itu merupakan salah satu destinasi wisata religi favorit
wisatawan. Masjid bersejarah ini bukan hanya ikon Serambi Mekkah, tapi juga
simbol perjuangan dan penyebaran Islam di Indonesia hingga semenjung Asia
Tenggara. Dengan latar belakang sejarah itu, wajar kalau keberadaan masjid ini
mengundang banyak perhatian dunia yang ingin mengetahui sejarah Aceh maupun
perkembangan Islam di nusantara. Masjid yang dibangun abad 17 ini selalu ramai
dikunjungi turis lokal maupun manca negara, terutama dari Malaysia. Bagi warga
negeri Jiran yang berkunjung ke Aceh, mereka serasa wajib datang ke masjid ini.
|
Penjual kopi Aceh |
|
Becak motor kendaraan khas Aceh
|
Setelah
berkunjung dan menyempatkan Shalat Jum’at di Masjid Baiturrahman, kami
melanjutkan perjalanan ke Museum Tsunami. Hujan kecil mengiringi langkah kami
menuju museum yang berada di dekat pusat pemerintahan kota. Letaknya tak jauh
dari masjid utama tadi. Museum dengan arsitektur dan desain yang unik karya
Kang Emil dari Bandung ini rupanya telah menjadi maskot kota. Sebelum memasuki
gedung, dari bagian luarnya saja kami sudah bisa merasakan aroma tragedi tsunami
pada Desember 2004 silam. Ada bangkai mobil, helikopter, sampai batang pohon
besar yang tercabut sampai akarnya. Kami sempat berfoto sejenak disana.
|
Penulis berpose di gerbang museum
|
|
Pengunjung menikmati pameran foto dan diorama koleksi museum
|
Baru
saja kami masuk, ada seorang petugas lelaki menyambut. Ia menawari kami untuk
menonton film dokumenter tentang tsunami. Kami lalu mengikutinya masuk ke
sebuah ruangan mini teater. Kami tak sempat duduk karena penuhnya penonton. Setelah
melihat film yang memilukan itu kami dipersilakan menuju ruang pamer foto dan diorama
seputar tsunami. Kemudian kami pun sampai pada tempat serupa lorong gelap dan
setelahnya terdapat ribuan nama korban yang tertulis rapi di dinding bangunan.
Sayang, tak begitu lama kami menikmati museum karena hari kian senja. Belakangan kami
mengerti jika museum ini bukan hanya untuk rekreasi semata, namun
juga berfungsi untuk tempat evakuasi.
Hari
berikutnya kami melanjutkan perjalanan ke Kota Sabang di Pulau Weh. Kami
menyeberangi selat menggunakan Feri cepat dari Pelabuhan Ulee Lheue. Keindahan
alam Sabang memang mempesona. Konon,
di Abad 12 Sinbad sang petualang ‘7 Lautan’ itu pernah berkunjung ke pulau
indah ini. Dalam perjalanannya dari Arab menuju Cina, ia bersandar di salah
satu pulau di Selat Malaka yang dikenal sebagai Pulau Emas. Sedangkan asal nama
Pulau Weh sendiri berasal dari sebuah istilah dalam bahasa Aceh yang berarti
pisah. Menurut cerita para leluhur, dulu sebenarnya Pulau Weh menyatu dengan
Sumatera, namun karena suatu kejadian yang besar kemungkinan adalah gempa maka
pulau ini ter-Weh-kan, atau terpisahkan.
|
Pemandangan jalan di Pulau Weh
|
|
Pintu masuk Pelabuhan Feri Ulee Lhueu
|
|
Sunset di Pantai Kasih Sabang
|
Pulau
yang katanya ditopang palung curam menyerupai gelas pesta ini rupanya bisa
bergeser. Jumlah penduduknya tidak banyak, serupa dengan satu kelurahan di Pulau Jawa.
Kebanyakan dari mereka profesinya pegawai negeri sipil dan pedagang pakaian. Setiap akhir
pekan Kota Sabang terasa sepi karena penduduknya banyak menyeberang ke pusat kota
Banda Aceh. Namun yang masih kami ingat, disini adalah kawasan bebas bea atau
istilah kerennya free trade zone. Tetapi rupanya hanya beras dan gula saja
yang terlihat melimpah. Jadi jangan heran jika kita makan di warung, nasinya diberikan
melimpah. Minum teh atau kopi disini gulanya diberikan terpisah, menggunakan wadah
besar. Kita bebas mengambilnya sesuka hati. Asyik deh pokoknya.. Duduk di Pantai
Kasih sambil menikmati sunset di balik lambaian daun kelapa sungguh ‘adem’
rasanya. Yang pasti, keindahan Pulau Weh akan tetap terjaga walau tahun dan
abad berganti. (pomo)
|
Pantai Lampuuk Banda Aceh |
Komentar
Posting Komentar