Demi Merah Putih "Pengabdian Petugas Bea Cukai di Perbatasan Indonesia-Timor Leste"
Pukul 05.00 pagi, akhir Agustus 2016,
telepon seluler Fajar Dwi bergetar saat satu pesan singkat masuk. Kurang
istirahat akibat tugas-tugas kantor, wajah pegawai muda Bea Cukai Atambua itu
sedikit pucat membaca pesan. “Mas, tolong antar tamu dari Humas Kantor Pusat
dan Warta Bea Cukai ke perbatasan Mota’ain.”
Pesan
singkat dari Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi Kantor Pengawasan
dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Atambua Edie Purwanto itu membuyarkan mimpi
Fajar. Hari itu WBC bersama pegawai
Humas Kantor Pusat Bea Cukai Dovan Wida, bertandang ke Atambua guna melakukan
peliputan dan memotret suasana di perbatasan diantar menggunakan Ranger Ford
milik kantor setempat. Selain Fajar, kala itu kami juga ditemani Gagas Galang,
kolega sesama pegawai di KPPBC Atambua.
Syahdan,
kami berempat menyusuri jalanan mulus berbukit selama 45 menit menuju pos perbatasan
Indonesia-Timor Leste. Di perjalanan banyak hewan liar yang kami temui seperti
babi, kuda, kambing, dan sapi berjalan berderet dengan tenang di tengah aspal. Walaupun
bagi kami hal itu sedikit aneh, rupanya pemandangan tersebut tak asing bagi
warga lokal. “Biasa, penduduk lokal, kita harus ngalah,” kelakar Fajar.
Ketika
tiba di area perbatasan Mota’ain tampak di kejauhan gedung baru pos perbatasan
Indonesia yang masih dalam proses pembangunan. Sejumlah gedung yang belum
rampung tampak berdiri kokoh dan megah. Kombinasi arsitektur tradisional dan
modern terlihat padu. Semua gedung bentuk atapnya berupa bulat khas rumah adat
Belu atau sering juga disebut matabesi.
Mota’ain
merupakan desa yang menghubungkan dua negara. Tepat di depan pintu gerbang
perbatasan terdapat Pos TNI, juga terdapat kantor Imigrasi khusus perbatasan, Bea
Cukai, Karantina, serta Kantor Pelayanan Bank Mandiri. Beberapa warung kecil
berjejer tak jauh dari deretan kantor. Tak terlihat terminal atau pasar di
sana, karena memang kompleks pos perbatasan Indonesia sedang direnovasi.
Tak
jauh dari gerbang perbatasan milik Indonesia, terdapat portal besi dan jembatan
bercat sesuai warna bendera kedua negara untuk melintas melewati sebuah sungai
yang tampak kering. Itulah jembatan yang menjadi pintu masuk ke Negara Timor
Leste. “Bem Vindo A Timor Leste”,
kalimat dari bahasa Portugis yang berarti “Selamat Datang di Timor Leste”,
tersebut menyapa kami dari atas jembatan. Lokasi ini juga dikenal dengan
sebutan Batugade atau batu besar.
Gedung
imigrasi perbatasan milik pemerintah Timor Leste tampak megah dari kejauhan. Kami
sempat melewati dan mengambil beberapa gambar di wilayah Timor Leste. Kami juga
sempat berbincang-bincang dengan petugas dan tentara perbatasan Timor Leste. Walaupun
sudah belasan tahun lamanya merdeka mereka masih fasih berbahasa Indonesia
meski dengan logat tetun, bahasa
resmi Timor Leste, yang kental.
Menurut
Fajar, perbatasan Mota’ain seperti menjadi simpul ekonomi penting bagi kedua
negara. Secara geografis, wilayah perbatasan ini merupakan jalur darat terdekat
yang menghubungkan Dili dan Kupang. Jalur darat ini merupakan jalur primadona
pelintas batas karena jika ingin menggunakan moda udara tak ada penerbangan
langsung yang menghubungkan Dili-Kupang begitu juga sebaliknya.
Rata-rata
sepuluh mobil melintas di sini setiap harinya. Selain kendaraan pribadi, truk
barang, ada juga travel rute
Kupang-Dili yang melintas. “Jika dibandingkan pos perbatasan lain, di sini yang
paling ramai dan jelas berisiko tinggi. Hal ini membuat saya dan kawan-kawan
harus lebih jeli lagi untuk melakukan pengawasan,” ujar pemuda asal Solo ini.
Di wilayah perbatasan ini penduduk kedua negara
mendapatkan kelonggaran dan kemudahan untuk keluar masuk wilayah dua negara.
Hal ini mengingat Timor Leste pernah menjadi bagian dari Republik Indonesia
sehingga hubungan kekerabatan masih terjalin erat. Kesamaan adat dan budaya
turut mempengaruhi kuatnya persaudaraan itu. Kemudahan aturan keluar masuk
daerah perbatasan kerap digunakan warga Timor Leste untuk membeli berbagai
kebutuhan barang di Kabupaten Belu NTT, mengingat harga jual barang kebutuhan
pokok di Timor Leste cukup mahal.
Perbedaan harga yang cukup tinggi itu menjadikan
maraknya aksi penyelundupan terutama menuju wilayah Timor Leste. Fajar
menuturkan masih adanya aksi penyelundupan bahan bakar minyak (BBM) di Belu.
BBM dengan harga subsidi dari pemerintah Indonesia bisa dinikmati secara massal
rakyat luar negeri. Rupanya di perbatasan ini BBM menjelma menjadi komoditas
yang demikian seksi. Arus jual beli di perbatasan ini diakui masyarakat sekitar
memang terasa timpang. Bagaimanapun Timor Leste masih sangat bergantung pada
Indonesia.
Hampir segala macam kebutuhan masih didatangkan
langsung dari Indonesia. Sementara Indonesia hanya mengimpor sedikit kopra,
kopi, dan kemiri. Disini peran Bea Cukai sangat diuji. Instansi yang memiliki
peran strategis dalam perlindungan masyarakat terhadap berbagai aksi
penyelundupan. Bukan hanya peredaran ilegal bahan pokok, tetapi juga segala
bentuk narkoba dan barang-barang yang dapat mengganggu kedaulatan dan
stabilitas ekonomi negara. Hal ini jelas menjadi tantangan para pegawai Bea
Cukai di perbatasan seperti Fajar dan kawan-kawan.
Esok
harinya tibalah kami menuju ke satu wilayah perbatasan lain yang bernama Wini. Wini adalah sebuah desa kecil nan sepi
yang terletak di Manamas Naibenu Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Kabupaten TTU
sendiri berbatasan langsung dengan Oecusse-Timor Leste. Distrik Oecusse
atau biasa dieja Oekusi sendiri adalah wilayah Timor Leste yang berada di
tengah-tengah wilayah Indonesia. Kegiatan
lintas batas yang dilakukan di desa Wini biasanya adalah kegiatan jual beli
kebutuhan harian di sekitar desa Wini ataupun saat hari pasar.
Kami pun sejenak menyempatkan berbincang dengan
Kepala Kantor Bantu Bea Cukai Wini, Menase Karmoy yang saat itu sedang bertugas.
Pria asal Alor yang akan memasuki masa pensiun ini ditemani dua pegawai muda. Menurut
Menase, Kantor Bantu Bea Cukai Wini yang masih berada dibawah kendali KPPBC
Atambua memiliki tugas untuk memberikan fasilitas kepada lintas batas demi
mempermudah kegiatan masyarakat di sekitar daerah perbatasan di desa Wini ini.
Fasilitas yang diberikan Bea Cukai untuk warga
adalah berupa pemberian kartu identitas lintas batas atau KILB. KILB yang
digunakan oleh pelintas batas hanya berlaku di sekitar daerah perbatasan. Fasilitas
yang ada pada KILB ini adalah dibebaskanya pemilik KILB atas pajak barang
ekspor maupun impor. Fasilitas yang diberikan kepada warga perbatasan itu
diharapkan dapat membantu perekonomian masyarakat Indonesia disekitar daerah
perbatasan.
“Kami melakukan pengawasan dan pelayanan kegiatan
warga di Wini. Di sini juga terdapat kegiatan ekspor barang. Ada juga kendaraan
transit dari Dili menuju Oekusi Timor Leste ataupun sebaliknya yang melewati
wilayah Indonesia,” ujar Menase sembari sesekali mengenang para pejabat Bea
Cukai yang dulunya pernah bertugas di Wini bersamanya. Wilayah Wini memiliki
sebuah pelabuhan yang biasa digunakan untuk pengiriman barang lokal untuk
memenuhi kebutuhan warga sekitar seperti beras dan bahan makanan lain. Selain itu
terkadang ada pula kapal yang sandar di pelabuhan Wini dengan tujuan
Oekusi maupun Dili. Dalam momen ini dilakukan pengawasan berupa boatzoeking atau pemeriksaan fisik kapal
oleh petugas Bea Cukai.
Ikatan
Sejarah
Pulau
Timor memiliki ceritanya panjang dalam sejarah dua negara. Sejak adanya jajak
pendapat di tahun 1999 lalu, Timor-Timur kemudian berubah menjadi Republik Democratik Timor Leste. Di pulau
ini dulunya banyak terdapat kayu cendana aromatik, madu, dan lilin. Potensi
inilah yang menjadikan Pulau Timor bagian dari jaringan perdagangan Cina dan
India di masa silam. Selain potensi sumber daya alam bernilai ekonomi, pulau
ini juga memiliki keindahan alam yang memukau. Keelokan alamnya bahkan sudah
kami saksikan dari kaca pesawat, sesaat sebelum mendarat di Bandara El Tari,
Kupang.
Berbicara
tentang Pulau Timor tentu tidak bisa lepas dari kondisi sosial ekonomi
masyarakatnya. Potensi dan keindahan alam Pulau Timor sepertinya berbanding
terbalik dengan kondisi masyarakatnya yang sebagian masih terbelakang,
khususnya mereka yang tinggal di daerah terpencil. Secara administratif ada
tiga kabupaten yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yaitu Kabupaten
Kupang, Kabupaten TTU, dan Kabupaten Belu, dengan total garis perbatasan
mencapai 268,8 km.
Keterikatan
sejarah masa lalu membuat masyarakat Timor masih sering berinteraksi dengan
masyarakat Timor Leste, baik sekedar mengunjungi saudara ataupun
berbelanja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika dulu mereka leluasa saat
menyeberang antar wilayah, sekarang harus melewati serangkaian pemeriksaan di
pos perbatasan antar-negara dengan menunjukkan surat atau dokumen yang
diperlukan untuk bisa melanjutkan perjalanan.
Selain
hilir mudik manusia, kawasan perbatasan juga menjadi pintu keluar dan masuknya
barang dari dan ke dua negara ini. Ada beberapa jenis komoditas yang diekspor
ke Timor Leste, seperti kebutuhan sehari-hari yang diproduksi di Indonesia.
Selain itu, ada juga beberapa yang diimpor dari Timor Leste seperti kopi,
kemiri, kopra, dan kacang tanah. Pergerakan arus keluar-masuk barang di
kawasan perbatasan ini cukup sering terjadi, baik yang berada dibawah
pengawasan pihak berwenang maupun yang dilakukan secara ilegal.
Teorinya,
pergerakan barang yang terjadi di perbatasan akan memberikan manfaat berupa
tambahan devisa bagi negara apabila dilakukan secara resmi. Tetapi bisa
berpotensi memunculkan ancaman terhadap perekonomian bila dilakukan secara
tidak resmi. Disinilah pentingnya keberadaan Pos Lintas Batas Negara (PLBN),
Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB), serta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi,
Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai filter arus orang dan barang di wilayah
perbatasan.
Kondisi
perbatasan baik melalui PPLB Mota’ain maupun Wini hampir sama. Ketika itu kedua
perbatasan ini sedang berbenah membangun kantor. Bedanya, di Mota,ain
suasananya lebih ramai. Sedangkan di Wini cukup sunyi, tak ada yang melintas di
siang itu. Jadilah pelayanan dan pemeriksaan pelintas batas oleh CIQS saat itu
dilakukan di ruang darurat. Ruangan Pos Bea Cukai sekitar 3x3 meter yang
terbuat dari bahan kayu itu tak bisa menampung semua para pelintas yang mulai
berdatangan ketika portal mulai dibuka pada jam 08.00-1600 waktu setempat. Alhasil,
antrean pun mulai mengular di depan pintu empat pos pelayanan di sana.
Rencananya,
PLBN Mota’ain yang dibangun dengan anggaran sekitar Rp 82 miliar itu
meliputi sejumlah bangunan dan pos berupa Gerbang Tasbara dan Pos Jaga,
Karantina Tumbuhan dan Hewan, Pemeriksaan Imigrasi, Bea Cukai, dan Lambang
Negara Indonesia, Wisma Indonesia, Mess Karyawan, dan fasilitas pendukung
lainnya. Bagi kami, dengan memandang keindahan arsitekturnya saja sudah cukup
menghibur dan menetralisir rasa lelah di tengah terik matahari.
Dalam menjalankan
tugas dan perannya di perbatasan, para petugas Bea Cukai senantiasa menghadapi
berbagai tantangan. Tantangan itu tentunya berbeda antar wilayah perbatasan,
sesuai dengan kondisi geografis, sosial, dan ekonomi masyarakat sekitarnya. Sejatinya,
Pulau Timor sendiri memiliki tiga batas matra, yaitu udara, laut, dan
perlintasan di darat. Penyelundupan narkotika, senjata api, sampai hasil minyak
bumi kerap terjadi di perbatasan ini.
Tantangan
lain adalah kondisi geografis yang lumayan berat. Batas negara sepanjang
149,9 KM dari Mota’ain sampai MotaMasin, misalnya. Perbatasan ini hanya
memiliki lima pos lintas batas resmi, satu kantor Bea Cukai di Atambua, dua
kantor bantu Bea Cukai Mota’ain dan Motamauk, serta dua pos pengawasan Bea Cukai
di Turiskain dan Haliwen. Kurangnya fasilitas penjagaan
menjadikan pengawasan perbatasan di darat menjadi longgar dan
memunculkan banyak “jalur tikus” di sepanjang wilayah ini.
Faktanya,
terdapat beberapa wilayah yang menjadikan sungai sebagai batas negara
Indonesia-Timor Leste. Berbeda dengan sungai-sungai di wilayah lain, sungai di
Pulau Timor cenderung kering dan dangkal, sehingga sangat mudah dilalui baik
dengan berjalan kaki maupun menggunakan kendaraan bermotor. Kondisi inilah yang
dimanfaatkan oleh para pelintas batas ilegal untuk mengangkut barang yang akan
diperjualbelikan. “Kalau pas tugas di pos pengawasan itu, kami sering tak bisa
tidur mas, banyak nyamuk gede-gede,” ujar Fajar.
Luasnya
cakupan wilayah kerja sudah selayaknya diimbangi dengan ketersediaan SDM
Bea Cukai. Namun hal itu tentunya tidak menjadikan alasan untuk lengah.
Terbukti, beberapa kali petugas Bea Cukai Atambua berhasil menggagalkan
penyelundupan narkotika, psikotropika, senjata rakitan, minuman beralkohol, dan
BBM. Selain itu terdapat pula barang kebutuhan sehari-hari yang diselundupkan
melalui “jalur tikus” di beberapa wilayah perbatasan.
Mungkin semua pegawai Bea Cukai sudah memahami
dan menyadari bahwa bertugas dimanapun tidaklah ringan. Selain pintar mejaga
kondisi fisik, tak kalah penting adalah dapat bersinergi dengan semua instansi
pemerintah di sana, seperti imigrasi, karantina, dan aparatur keamanan
setempat. Fajar dan kawan-kawan adalah bukti
pengabdian yang tinggi walau didera berbagai keterbatasan. Mereka adalah generasi
muda pengabdi negara dan pecinta bangsa yang kebetulan bertugas di wilayah yang
jauh dari keluarga dengan medan tugas yang cukup berat, dan risiko pekerjaan
yang tidak main-main. (pomo)
Komentar
Posting Komentar