Menikmati Kampung Para Raja
Tibalah waktunya kami untuk
mengunjungi sebuah pulau wisata spiritual yakni Penyengat di ujung Ramadhan
tahun ini. Melalui perairan Batam menuju Bintan akhirnya kami tiba di pulau
mungil itu. Terhitung dua kali jalur laut mesti kami tempuh sebelum akhirnya tiba
di Penyengat. Dari Dermaga Panjang dan Pelabuhan Sri Bintan Pura Kota
Tanjungpinang, bangunan Masjid Raya Sultan Riau yang berwarna kuning cerah
terlihat mencolok di antara bangunan-bangunan lainnya di Pulau Penyengat.
Selama 15 menit
saja kami menggunakan perahu bot pompon dari Tanjungpinang menuju Penyengat.
Pagi itu suasana pulau tampak sepi, begitu juga di Masjid Raya Sultan Riau atau
yang lebih kondang dengan sebutan Masjid Penyengat. “Nanti hari raya pasti
ramai, pak,” ujar Zakariya seorang warga setempat pengemudi becak motor yang mengantarkan
kami dari dermaga menuju beberapa situs sejarah di pulau itu.
Menurut Zakariya
mobilitas penduduk dari dan menuju Penyengat cukup ramai. Hal ini mengingat
mayoritas warga Penyengat bekerja di Tanjungpinang. Mereka berangkat pada saat
pagi menuju Tanjungpinang dan kembali lagi ke Penyengat pada sore hari. Kunjungan
menuju ke Penyengat pada pagi hari biasanya lebih didominasi para wisatawan
yang ingin melihat peninggalan sejarah Kesultanan Melayu Riau yang ada di pulau
tersebut.
Sejarah Pulau
Penyengat sebagai pusat peradaban Melayu diawali pada abad 18, yakni pada saat
Sultan Riau-Lingga membangun sebuah bangunan benteng di pulau itu. Kemudian
dibangunnya masjid yang merupakan saksi kebesaran dari Kesultanan Riau. Masjid yang
konon dibangun dari putih telur ini sebagai peninggalan Sultan Mahmud yang
dibangun pada 1803 dan rampung pada tahun 1844 M.
Masjid
kebanggaan warga Kepulauan Riau ini tampak megah dengan warna kuning bangunan yang
merupakan warna kebesaran bangsa Melayu. Warna tersebut menutupi hampir seluruh
bagian luar hingga ke bagian dalam bangunan masjid. Diselingi dengan warna
hijau di beberapa ornamen untuk estetika. Pada sisi kiri gerbang masjid berdiri
sebuah perpustakaan sebagai tempat menyimpan Kitab Suci Al-Quran dari mulai
abad ke-17 dan beberapa buah kitab kuno. Pada empat bagian sisi masjid juga terdapat
menara tinggi menjulang yang berwarna kuning.
Salah satu
keistimewaan masjid berwarna kuning ini adalah dipajangnya mushaf Al-Qur’an
tulisan tangan oleh Abdurrahman Stambul,
putera Riau asli pulau Penyengat yang diutus oleh Sultan Riau untuk belajar di
Turki pada tahun 1867 M. Selain itu ada juga mushaf Al-Qur’an tulisan tangan
yang disimpan karena usianya lebih tua dari dipajang tersebut yang ditulis oleh
Abdullah Al Bugisi pada tahun
1752 M. Mushaf ini dilengkapi dengan tafsir dari ayat Al-Qur'an yang tidak
diketahui siapa penulisnya. Beberapa sumber menyebutkan, mushaf ini tersimpan
bersama sekitar 300 kitab lain yang tidak dipertunjukkan kepada pengunjung.
Keistimewaan
lain adalah mimbar di dalam masjid di pulau para raja ini yang terbuat dari
kayu jati yang dipesan khusus dari Jepara Jawa. Disamping mimbar terdapat
piring berisi pasir yang konon dibawa dari pasir tanah Makkah al-Mukarramah bersama benda-benda lain dari
tanah Arab. Pasir Mekah ini dibawa oleh Raja
Ahmad Engku Haji Tua, yang merupakan bangsawan Riau-Lingga pertama yang
menunaikan ibadah haji ke tanah Mekah pada tahun 1820 M.
Selain komplek Masjid Penyengat atau Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Pulau Para Raja atau Masjid Putih Telur, terdapat pula
komplek makam para raja dan kerabatnya. Ketika itu kami berkesempatan berziarah
ke makam Raja Hamidah atau biasa disebut Engku Puteri, seorang permaisuri
Sultan Mahmud Shah III. Kemudian makam Raja
Abdurrahman merupakan Raja Riau VII yang mangkat pada tahun 1844 M. Kami
harus menyusuri jalan perkampungan yang kecil untuk sampai di makam para
‘karuhun’ itu.
Bukit Pasir Busung
Setelah
puas menyusuri perkampungan Pulau Peyengat kami melanjutkan perjalanan menuju
sebuah obyek wisata yang terbilang baru yakni bukit pasir di Desa Busung Pulau Bintan
atau biasa disebut Bukit Pasir Busung. Obyek ini bisa ditemukan pelancong yang
melewati Desa Busung di jalan lintas Tanjungpinang-Bintan. Posisinya berada di
sebelah kiri jalan menuju Bintan. Belum ada nama khusus untuk bukit pasir
tersebut, hanya saja warga setempat menyebutnya Bukit Pasir Desa Busung. Menurut
Agus, salah seorang pengelola tempat itu, Bukit Pasir Busung tidak terbentuk
karena faktor alam. Sebenarnya bukit ini adalah bekas galian tambang pasir yang
sudah dihentikan. “Beberapa tahun saja sempat ada penjualan pasir untuk
diangkut dan dibawa ke Singapura. Tapi sekarang pemda-nya melarang,” ujar Agus.
Kini,
hamparan padang pasir yang luas itu dibiarkan begitu saja. Karena tempatnya
terbuka dan berada di pinggir jalan raya banyak orang singgah sekadar melihat
dan berfoto di sana. Namun memang tempat eksotis ini belum dimanfaatkan secara baik
sebagai tempat wisata andalan. Kendati demikian warga Bintan juga Batam sepertinya
tidak asing dengan tempat itu, terutama muda-mudinya yang tampak berdatangan sekadar
duduk-duduk, berfoto, bercengkrama di sana. Kami menjadikan Bukit Pasir Busung
sebagai tempat ngabuburit - menunggu waktu magrib di bulan puasa – kala itu.
Tempat
yang semula biasa ini, bisa jadi luar biasa ketika gambarnya bermunculan di berbagai
medsos seperti instagram dan facebook. Cukup lama kami berfoto di
sana. Saat itu matahari sangat terik kami rasakan. Beberapa buah kelapa muda
yang dijajakan di pinggir jalan cukup menggoda iman kami. Namun indahnya rona
pasir yang tersapu terik matahari saat itu seolah menjadi penawar dahaga kami.
Meskipun
terbentuk dari hasil tambang, hamparan pasir ini masih terkesan alami. Dari
kejauhan memang terlihat seperti gundukan bukit pasir halus. Namun, bila lebih
mendekat ternyata kerikil-kerikil terlihat sedikit kasar. Warnanya menguning.
Pada saat terik, warna pasirnya lebih merona. Tak jarang ada yang betah sekadar
duduk-duduk saja di gundukan tersebut atau memainkan kamera untuk swafoto dan
memotret pemandangan sekitar.
Sejatinya bukit pasir ini dikelilingi pepohonan dan semak yang tidak begitu tinggi. Di beberapa tempat juga tampak tumbuh rerumputan seperti ilalang kering. Berada di lokasi itu cukup nyaman, meskipun anginnya tidak begitu kencang. Untuk datang ke Bukit Pasir Busung bisa ditempuh hanya menggunakan kendaraan pribadi. Belum ada transportasi umum ke sini. Walaupun sebenarnya tidak sulit menemukan lokasinya karena berada persis di pinggir jalan raya. Dari pusat kota Tanjungpinang sekitar 47 kilometer, atau kurang lebih 40-60 menit untuk menuju tempat unik ini. (pomo)
Komentar
Posting Komentar